Aksi Massa Melawan PT. Inco

Down to Earth No 67  November 2005

Oleh YL Franky, AMAN

Masyarakat adat korban tambang dan buruh PT. Inco di Sorowako, bersama mahasiswa dan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Forum Solidaritas Masyarakat Korban Tambang (FSMT), selama empat hari berturut-turut di bulan September (15 - 19, Sept 2005), menduduki Kantor Regional PT. Inco di JL. Penghibur, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelumnya, hari Senin (12 Sept) FSMT melakukan aksi di Kantor DPRD Propinsi Sulawesi Selatan dan hasilnya akan mempertemukan FSMT dengan PT. Inco pada hari Kamis (15 Sept), namun DPRD tidak berhasil memanggil manager PT. Inco. Ratusan massa FSMT yang kecewa dengan DPRD kemudian melangsungkan aksi konvoi menuju kantor Regional PT. Inco. Massa menduduki dengan menginap di kantor PT. Inco, dalam aksi tersebut dilakukan pula mogok makan oleh dua orang dari massa FSMT, yakni Yuliana (70 thn) perempuan korban penggusuran dan Yusran mahasiswa UNM, hari kelima massa aksi dibubarkan dengan evakuasi paksa oleh aparat kepolisian.

FSMT menuntut PT. Inco memenuhi hak-hak rakyat dengan mengganti rugi tanah milik warga pemilik tanah di Petea dan masyarakat adat Karonsie Dongi yang sudah dikelola PT. Inco, menuntut pembangunan pemukiman bagi masyarakat Karonsie Dongi dan mengakui hak milik wilayah adat masyarakat Karonsie Dongi yang sekarang sedang diduduki dan dikelola, serta mempekerjakan kembali buruh yang telah di PHK paksa oleh PT. Inco.

Pihak PT Inco yang diwakili oleh Edi Suhardi (Direktur Regional External Relation PT Inco Tbk), Koordinator Government Relation (Idham Kurniawan), dan H. Latief. Serta hadir pula Kapolresta Makassar Barat, melakukan pertemuan bersama wakil masyarakat di Rumah Makan Caesar, Jumat malam (16 Sept). Pertemuan berlangsung tanpa hasil karena Pihak PT Inco tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat. PT Inco berpendapat kasus tanah di Petea akan diserahkan penyelesaiannya kepada Tim 5 yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pemda Luwu Timur. Untuk lahan masyarakat Karonsi’e Dongi akan dievaluasi oleh pihak PT Inco serta akan dibicarakan secara internal di PT Inco Tbk. Untuk PHK, PT Inco menyerahkan sespenuhnya sesuai jalur hukum.

Aksi-aksi massa dan protes terbuka sudah sering berlangsung sejak tahun 1980 an hingga kini. Untuk bulan Januari sampai September tahun 2005, terjadi aksi protes sebanyak tujuh kali dengan waktu yang berbeda-beda, mencakup: kasus buruh, issu tenaga kerja lokal, ganti rugi tanah dan tuntutan pengakuan hak-hak atas tanah masyarakat adat. Intensitas aksi terbanyak terjadi dalam konflik tanah antara masyarakat adat Karonsie Dongi dengan PT. Inco dan pemerintah, hingga sekarang sekitar 70 Kepala Keluarga masyarakat Karonsie Dongi masih bertahan melakukan pendudukan, berkebun dan membangun pondok di areal Lapangan Golf PT. Inco, yang di klaim sebagai wilayah tanah adat mereka. Aksi-aksi ini belum termasuk yang dilakukan warga Desa One Pute Jaya dan Orang Bungku di daerah ekspansi baru PT. Inco di Sulawesi Tengah.

Meluasnya aksi massa karena ketidak puasan atas mekanisme penyelesaian sengketa hukum formal yang tidak adil dan aparat penegak hukum tidak mampu menegakkan hukum, buntunya jalur informal dan dialog yang tidak berimbang, massa diperhadapkan cara-cara represif, teror dan brutal melibatkan aparat keamanan dan preman bayaran, kecenderungan kebijakan dan penyelenggaraan hukum berada dibawah kendali pemilik modal sehingga kasus-kasus semakin menumpuk dan berlarut-larut.

Relevansi kekuatan modal mengintervensi proses dan pengesahan kebijakan, nampak pada kebijakan pemerintahan Megawati yang membolehkan pertambangan di Hutan Lindung melalui Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 tentang Kehutanan, yang kemudian menjadi UU No. 19 tahun 2004. Pemerintah tidak berdaya dalam kendali perusahaan pertambangan, dengan dalih ketidak pastian hukum berusaha dan ancaman arbitrase serta merta merubah kekuatan hukum dan komitmen perlindungan hutan. Dalam hal ini pemerintah telah melanggar hukum. Demikian pula yang terjadi dengan lembaga legislatif DPR RI dan keputusan gugatan Judicial Review UU No. 19 tahun 2004 di Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang menjadi benteng pertahanan hukum rakyat tidak mampu melakukan koreksi dan perubahan kebijakan berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi objektif dan dampak kegiatan pertambangan bagi rakyat, melainkan penuh argumentasi subjektif dan kompromi, menyusul disinyalir adanya ‘suap’ dalam tubuh legislatif. MK mengakui bahwa secara objektif alasan pemohon benar akan dampak negatif yang timbul dari kegiatan pertambangan. Tetapi MK memilih untuk mempercayai pemerintah dalam mengambil kebijakan yang bertujuan untuk melindungi perjanjian dengan investor asing di bidang pertambangan. (Hendri Kuok dalam Kolom Opini, Kompas, 8/8/ 2005).

Akumulasi dampak dari ketidak pastian perlindungan hukum, kemiskinan, aksi-aksi brutal dan sebagainya, menimbulkan keresahan sosial dan ketidak percayaan pada pemerintah. Hal ini bisa menjadi "bom waktu" yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik sosial yang dapat mengorbankan dan merugikan semua pihak.


Pelanggaran Hukum Terus Berlangsung

PT. Inco sedang mengerjakan pembangunan PLTA Karebe untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik menjadi 360 MW, nilai investasi USD 280 juta yang bersumber dari dana utang dan internal Inco. Proyek mercusuar ini ternyata bermasalah karena belum memiliki dua perizinan penting, yaitu izin prinsip dari Pemkab Lutim dan izin pelepasan kawasan hutan lindung dari pemerintah pusat.

Polisi setempat masih memeriksa pelaksana proyek PT. Thiess Contractor Indonesia (TCI) yang mengaku tidak mau tahu menahu terkait dengan perambahan hutan lindung tanpa izin pelepasan kawasan dari pemerintah pusat dan izin prinsip Pemkab Lutim, untuk pekerjaan land clearing PLTA Karebbe. (www.fajar.co.id/news.php?newsid=9328).

Hal ini menimbulkan tanggapan miring dan keresahan dari masyarakat, jelas-jelas PT, Inco melanggar prosedur hukum dan tidak adanya analisis dampak lingkungan sebagai akibat pembukaan hutan lindung. Masyarakat khawatir akan terjadinya banjir yang lebih hebat dari sebelumnya yang merusak sumber kehidupan masyarakat.

Jauh hari sebelumnya, Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan sudah memberikan himbauan kepada masyarakat di wilayah ini agar wasapada dengan ancaman bencana banjir bandang yang akan memakan korban manusia sebagai akibat kasus penebangan hutan tidak bisa dikendalikan. Gubernur merasa prihatin dengan kerusakan hutan yang terjadi di Sorowako, Luwu Timur. Dan kalau betul di Inco tingkat kerusakan hutan sudah demikian parah, maka pihak Inco akan diberikan teguran. Pemerintah akan mendesak pihak Inco untuk mengembalikan hutan tersebut seperti kondisi semula. (Berita TVRI, 21 Nop 2003).

Dugaan pelanggaran hukum lainnya terkait dengan keterlibatan PT. Inco dalam aktivitas ilegal yakni penyelundupan batu bara yang berasal dari Tana Grogot, Kalimantan Timur. Pada tanggal 10 Nopember 2004 lalu, Polres Luwu Utara berhasil menangkap Kapal Motor (KM) Osanik Star, yang memuat sekitar 3.000 ton batubara tanpa dokumen resmi, di perairan laut Malili, Kabupaten Luwu Timur. Nilai batubara itu mencapai Rp1,3 miliar yang menjadi kerugian negara.

Dari pemeriksaan sementara polisi, kapal tersebut akan berlabuh di pelabuhan Balantang. Sedangkan muatan batubara disebutkan sebagai pesanan PT Inco. Kapolres menduga, penyelundupan batubara dari Kalimantan ke Malili untuk disuplai ke industri nikel dan industri lainnya di Sorowako, sudah berlangsung lama. Herson Mangonta, nahkoda kapal ini di depan penyidik menyatakan, pihaknya sudah 10 kali masuk ke Malili memuat batubara tak berdokumen, seluruhnya batubara pesanan Inco. (www.fajar.co.id/news.php?newsid=1270)

 

Tambahan Info:

Aksi Protes Melawan Inco

Tahun 1980

Ketika Inco membangun PLTA Larona, 95 keluarga yang bermukim di tepi danau Matano meminta ganti rugi kepada Inco yang diteruskan ke pengadilan Ujung Pandang. Masyarakat menuntut ganti rugi tanah Rp. 750 juta. Masalahnya kemudian diselesaikan diluar pengadilan, Inco bersedia membayar sejumlah ganti rugi dan memindahkan mesjid ke dataran yang lebih tinggi.

Tahun 1998
Pada kasus pembangunan PLTA Balambano, masyarakat menuntut ganti rugi tanah dan Inco meminta warga untuk menuntut melalui jalur pemerintah yang sudah dititipkan uang ganti rugi. Mendi, warga setempat hingga tahun 2001 masih memnta pemerintah memenuhi haknya yang diakui belum diterima.

Tahun 1999
Klaim penduduk Sorowako atas tanah di Old Camp berbuntut penahanan terhadap Andi Baso.

Februaru 1999
Masyarakat Sorowako berdemonstrasi mempermaslahankan ganti rugi tanah dan janji-janji Inco yang belum ditepati, seperti: pelayanan pendidikan, kesehatan, listrik dan air bersih. Padahal janji ini sudah dilakukan semenjak tahun 1969 oleh seorang pinpinan Inco Hitler Singawinata. Hingga sekarang kasus ini belum terselesaikan.

3 April 2000
Ratusan masyarakat asli Sorowako yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pemuda Asli Soroako (FKPAS) dan Kerukunan Wawainia Asli Soroako (KWAS), melakukan aksi unjuk rasa di PT International Nickel Indonesia (PT Inco) Soroako. Mereka memprotes perlakuan salah seorang pengawas pertambangan (mining superintendent) PT Inco, yang dinilai melecehkan masyarakat asli Soroako.

Protes ini dipicu oleh kebijakan perusahaan yang memindahkan salah seorang warga lokal yang baru diterima bekerja di Inco dipindahkan ke bagian lain secara sepihak. Saat keberatan disampaikan kepada pihak manajemen, pengawas pertambangan tadi malah berkeras dan menyuruh warga tersebut keluar jika tidak bersedia menerima penempatannya di bagian penghijauan. Ini merupakan pelecehan terhadap masyarakat asli dan sekaligus menunjukkan sikap arogan perusahaan.

Oktober 2002
Masyarakat Karonsie Dongi melakukan pendudukan di areal lapangan golf Inco yang merupakan tanah milik ulayat masyarakat yang diambil perusahaan tanpa ganti rugi. Dalam waktu yang berbeda-beda, aksi pendudukan ini ditanggapi perusahaan dengan surat ancaman, pengusiran, pembakaran pondok, sampai penangkapan dengan alasan masyarakat adat telah melakukan aktivitas di wilayah Kontrak Karya milik perusahaan.

6 Agustus 2004
Sekitar 50 masyarakat melakukan aksi protes terhadap proyek Community Development PT Inco. Hal ini dikarenakan, pembangunan pemukiman yang tidak sesuai dengan strandar pemukiman dan terkesan pembangunannya asal-asalan. Misalnya; 1) Lokasi pemukiman berada diatas lahan bekas penggusuran, 2) Tidak ada sarana jalan. 3) Pipa untuk sarana air bersih, bukan pipa standar PDAM.

Masyarakat menuntut Inco memenuhi tiga hal, yakni:
1. Pengaspalan Jalan.
2. Pemadatan lokasi pemukiman.
3. Penggantian material bangunan dengan material yang standar.

28 Jan 2005
Sekitar 250 karyawan PT Inco yang masuk dalam daftar PHK, bersama sanak keluarganya, mengadakan aksi blokir jalan di poros Wasuponda dan Nuha, mulai pukul 06:00 Wita. Mereka menahan seluruh kendaraan milik PT Inco, yang memuat material nikel dari Sorowako-Malili, utamanya truk yang akan menuju ke pelabuhan Balantang. Akibatnya, puluhan kontainer milik PT Inco yang memuat nikel dari arah Sorowako, tertahan. Menariknya, kendaraan umum lainnya, termasuk kendaraan pribadi yang melintas di lokasi demontrasi, tidak ditahan.

Pengunjuk rasa memprotes dan menuntut kepada direksi PT Inco mencabut kebijakan PHK dan protes terhadap direksi Inco yang melibatkan aparat kepolisian setempat, untuk menjemput para karyawan yang di-PHK di tempat kerjanya, lalu dibawa ke rumah masing-masing. Sumber: www.fajar.co.id/news.php?newsid=2504

31 Maret 2005
Sekitar 500 pemuda yang tergabung dalam FKPAS (Forum Komunikasi Pemuda Asli Sorowako), berunjuk rasa ke PT Inco. Mulai pukul 05:00 Wita, massa menyesaki lapangan golf milik PT. Inco. Mereka mengadakan long march dari Kampung Sorowako menuju lapangan golf Inco club. Massa menuntut kepada manajemen PT Inco untuk mentransparankan segala bentuk penerimaan karyawan, termasuk penerimaan tenaga medis.Mereka menuntut agar Inco memprioritaskan putera daerah setempat dalam setiap rekruitmen karyawan Inco, termasuk mitra kerja Inco yang membuka berbagai industri kecil di Lutim. Sumber: www.fajar.co.id/news.php?newsid=4250

21 Juli 2005
Ratusan orang karyawan korban PHK melakukan aksi blokir bandar udara (Bandara) milik PT. Inco di Soroako. Massa mendesak Direksi PT. Inco untuk melakukan pertemuan dengan mereka. Sekitar satu jam lebih di depan jalan masuk Bandara, para pengunjuk rasa melakukan orasi dengan yel-yel, "Usir Phil Toulele di Bumi Sawerigading, " dan kalau perlu pulangkan semua dalang PHK sepihak, "Karena menurut kami PHK sepihak PT. Inco di arsiteki otak Fir’aun," tegas Ustadz H. Hizbulla, salah satu korban PHK.

Massa aksi turut menyampaikan simpati dan dukungan kepada masyarakat korban penggusuran lokasi Petea.

8 Agustus 2005
Puluhan orang dari Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), berunjuk rasa ke kantor DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka menuntut PT Inco untuk segera membayar pesangon 303 karyawan yang telah diputus hubungan kerja (PHK).

FNPBI menilai PHK terhadap ratusan karyawan itu sebagai tindakan sepihak oleh PT Inco, karena 303 karyawan yang mendapatkan PHK sampai saat ini belum menerima ganti rugi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan biaya transportasi. Kalau dikalkulasi besarnya biaya yang harus ditanggung PT Inco mencapai Rp2 miliar.

12 September 2005
Ratusan massa aksi dan masyarakat korban tambang PT. INCO yang tergabung dalam Forum Solidaritas Masyarakat Tambang (FSMT), melakukan aksi di Gedung DPRD Sulsel. Aksi diterima oleh beberapa fraksi. Dalam aksi tersebut, massa menginginkan pihak DPRD memediasi pertemuan dengan pihak PT. INCO dalam hal ini presider Direktur PT. INCO dengan FSMT dan masyrakat korban, guna menyelesaikan kasus 250 PHK dan penggusuran tanah masyarakat dan tanah adat dongi. DPRD berjanji akan mempertemukan mereka pada hari Kamis, 15 September 2005.

Dalam dialog sempat pula dikemukakan anggota DPRD tentang kesulitan posisi pemerintah dan DPRD dalam menghadapi ancaman arbitrase oleh PT. Inco.

15 September 2005
Ratusan massa FSMT kembali melakukan aksi di Gedung DPRD Sulsel. Namun apa yg dijanjikan pada hari Senin kemarin tidak ditepati, sehingga aksi massa secara konvoi menuju ke kantor Regional PT. INCO untuk wilayah Sulselra di Jl. Penghibur.

FSMT menuntut Inco memenuhi ganti rugi dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat Karonsie Dongi dan buruh. Setelah dari DPRD Sulsel, masyarakat melanjutkan aksinya dengan mendatangi kantor PT Inco di Jl Penghibur, Makassar dan menduduki menginap di kantor Inco. Aksi pendudukan ini berlangsung berturut-turut 4 hari (15 Sept - 19 Sept 2005). Pada tanggal 17 September, dua orang dari massa FSMT, yakni Yuliana (70 thn) perempuan korban penggusuran dan Yusran mahasiswa UNM, melakukan aksi mogok makan hingga massa aksi dievakuasi paksa oleh aparat kepolisian.

Pihak PT Inco yang diwakili oleh Edi Suhardi (Direktur Regional External Relation PT Inco Tbk), Koordinator Government Relation (Idham Kurniawan), dan H. Latief. Serta hadir pula Kapolresta Makassar Barat, melakukan pertemuan bersama wakil masyarakat di Rumah Makan Caesar, hasilnya terjadi deadlock karena Pihak PT Inco tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat.

PT Inco berpendapat kasus tanah di Petea akan diserahkan penyelesaiannya kepada Tim 5 yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pemda Luwu Timur. Untuk lahan masyarakat Karonsi’e Dongi akan dievaluasi oleh pihak PT Inco serta akan dibicarakan secara internal di PT Inco Tbk. Untuk PHK, PT Inco menyerahkan sespenuhnya sesuai jalur hukum.

28 Sept 2005
Ratusan massa FSMT kembali melakukan aksi blokade di lokasi Inco.


Inco di Bungku

24 Sept 2004
Kepala desa dan BPD se kecamatan Bungku Tengah dan Bahudopi, Camat dan Dinas Pertambangan Morowali, melakukan pertemuan di kantor PT. Inco di Desa Dampala. Untuk mensosialisasikan rencana PT. Inco melakukan eksplorasi pada tahun 2005 di wilayah Bungku dan Bahudopi. Masyarakat dari Desa Onepute Jaya dan Desa Lele kecewa dengan pertemuan tersebut, yang tidak mengakomodir pembahasan permasalahan keberadaan dan tuntutan ganti rugi mereka yang hingga saat ini belum terjawab oleh Pemda maupun oleh PT. Inco.

29 April 2005
Masyarakat Desa Onepute Jaya melakukan aksi protes ke kantor INCO di Desa Lele, Kecamatan Bungku Tengah, oleh karena kegiatan Inco selama bulan Maret sampai April untuk mengeksplorasi 500 Ha lahan 2 (dua) milik masyarakat Desa Onepute Jaya, yang dilakukan tanpa musyawarah dan mufakat.


Kasus Masyarakat Karonsie Dongi dan Aksi Pendudukan

Awal Oktober 2002 
Masyarakat Karonsie Dongi melakukan pendudukan di areal lapangan golf Inco yang merupakan tanah milik ulayat masyarakat yang diambil perusahaan tanpa ganti rugi. Dalam waktu yang berbeda-beda, aksi pendudukan ini ditanggapi perusahaan dengan surat ancaman, pengusiran, pembakaran pondok, sampai penangkapan dengan alasan masyarakat adat telah melakukan aktivitas di wilayah Kontrak Karya milik perusahaan.

24 Oktober 2002
Enam orang dari masyarakat adat Karonsi’e Dongi secara mendadak ditahan dengan alasan melakukan aktivitas di wilayah areal KK PT Inco. Mereka yang ditahan adalah Ramli Laduri (Ketua Kerukunan MA Dongi), Hadoni Pengke (mantan Ketua Kerukunan MA Dongi), Hari Pengke, Yaber Ambeta, Irwan Pengke, dan Daniel Peruge.

Maret 2003
Satpam PT Inco bersama Kapolsek Nuha (Atamimi) mendatangi masyarakat dan meminta untuk menghentikan semua kegiatan di atas tanah yang diklaim sebagai milik PT Inco (berdasarkan Kontrak Karya), tapi masyarakat menolak menghentikan kegiatan tersebut.

15 Mei 2003
Chief Manager, Satpam PT Inco Mr. Piters Johnsons warga Negara Australia dengan dua orang Satpam dan satu regun (enam orang) anggota Brimob dengan senjata lengkap, menyusuri lahan-lahan masyarakat dan meminta kepada warga yang sempat ditemui untuk membongkar pondok mereka.

23 Mei 2003
Sejak pagi hari, sepanjang jalan antara Town Maintenance hingga persimpangan bumi perkemahan Kopatea telah dipenuhi oleh pasukan (Satpam, Polisi, Brimob) dibawa komando Tuan Pither Jonson. Masyarakat dilarang masuk ke lahan yang sudah mereka garap sebelumnya.

24 Mei 2003
Aparat keamanan memasang papan merah yang menyatakan bahwa dilarang keras melakukan aktivitas diwilayah yang sedang dikerjakan masyarakat. Pada waktu bersamaan terjadi pembakaran pembakaran pondok milik Orang Sorowako dipinggiran danau di Saluro (sebelah barat danau matano). Pembakaran itu disaksikan langsung oleh aparat keamanan.

3 Juli 2003
Kapolsek Nuha Bapak Atamimi mengantar surat ancaman kepada ibu Naomi (masyarakat Dongi), yang isinya mengusir orang dari lokasi pendudukan tersebut.

14 Juli 2003
Kapolsek Nuha Bapak Atamimi menjemput baspak yadin dan ibu Warim (masyarakat Dongi) ke kantor satpan PT Inco, untuk diiterogasi berkaitan dengan kasus pendudukan tersebut. Selain itu kami juga diancam untuk meninggalkan pondok-pondok tersebut, kalau tidak mereka akan membakarnya.

17 Juli 2003
Bapak Ramli (Ketua Kerukunan Masyarakat Kaeronsi’e Dongi) menyurat kepada camat Nuha untuk segerah menyelesaikan persoalan ini. Sebagai jawaban dari surat tersebut, anggota masyarakat kami dipanggil satu persatu dan dintimidasi dengan alasan bahwa kami melakukan penyerobotan terhadap wilayah PT Inco.

17 Maret 2004 
Masyarakat melakukan pertemuan dengan pejabat CD PT Inco, disepakati untuk melakukan perundingan dalam proses penyelesaian masalah.

23 Maret 2004 
Masyarakat melakukan pertemuan dengan agenda untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan oleh mesyarakat, untuk ditindak lanjuti pada pertemuan pada tanggal 29 Maret 2004 dengan menghadirkan para pemegang keputusan di PT Inco dan sekaligus menghadirkan pihak pemerintah dan masyarakat. Namun pertemuan yang direncanakan tersebut (29 Maret 2004) tidak juga dilaksanakan.

22 Mei 2004
Masyarakat diundang oleh pejabat Government Relation untuk bersilahturahmi. Dalam pertemuan itu, pihak PT Inco mengeluhkan teror yang mereka dapatkan dan permasalahan ketenangan kerja. Hadir dalam pertemuan ini, James K Gowans, Bing Tobing, Edy Arsyad, Manager Mining, Pither Johnson dan lainnya. Karena itu, kami pun menyampaikan masalah yang kami hadapi dan pihak PT Inco berjanji untuk menyelesaikan masalah ini.

23 Mei 2004
Kami menghadap Camat Nuha Bapak Drs. Anwar Hafid, dengan agenda menindak lanjuti masalah Dongi. Dari pertemuan ini camat berjanji akan menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh. Selanjutnya Camat juga berjanji akan melakkan pertemuan bersama antara masyarakat, PT Inco, Camat dan Bupati Luwu Timur.