Aceh: Exxon Mobil Ditutup

Down to Earth Nr 49  Mei 2001

Pada bulan Maret perusahaan asal Amerika Serikat, Exxon Mobil, mengumumkan penghentian sementara operasi mereka di ladang gas dan minyak di Aceh karena situasi keamanan yang semakin memburuk. Bukanlah hal yang kebetulan jika beberapa hari kemudian, pemerintah Jakarta mengumumkan akan melakukan operasi militer di wilayah yang tengah dilanda konflik.

Pada tanggal 9 Maret, Exxon Mobil mengumumkan penghentian sementara operasi mereka. Pihak perusahaan mengatakan bahwa keputusan itu diambil dikarenakan keprihatinan mereka terhadap keamanan staf dan orang-orang yang tinggal di sekitar wilayah operasi perusahaan mereka. Beberapa hari menyusul keputusan tersebut, staf tingkat tinggi diungsikan ke Medan di Sumatra Utara dan PT Arun, pabrik pengolahan LNG yang sebagian dimiliki oleh perusahaan, telah secara resmi menunda kegiatan operasi mereka. Laporan-laporan yang beredar menyatakan bahwa instalasi-instalasi industri besar lainnya di Aceh – dua pabrik pupuk dan pabrik pengolahan pulp Kertas Kraft – yang tergantung pada PT Arun untuk bahan bakar, akan segera mengikuti langkah tersebut.

Selama beberapa tahun, Exxon Mobil telah dikaitkan dalam pikiran penduduk Aceh yang tercabik-cabik oleh perang dengan kekejian dan teror pihak militer Indonesia di perkotaan dan pedesaan dekat wilayah operasi perusahaan tersebut. Sebagai salah satu “perusahaan penting” kegiatan operasi Exxon berada dalam penjagaan ketat militer. Perlengkapan perusahaan digunakan untuk menggali lubang kuburan besar terhadap korban-korban pembantain serta gedung-gedung mereka digunakan sebagai pusat-pusat penyiksaan. LSM-LSM setempat telah menyerukan kepada perushaan untuk bertanggungjawab terhadap berbagai pelanggaran HAM (lihat DTE 48). Tidaklah mengherankan bila keputusan perusahaan untuk menghentikan operasi mereka disambut gembira oleh penduduk setempat. Meskipun demikian, rasa lega mereka tidak berumur panjang: tanggapan Jakarta terhadap penghentian operasi adalah pengiriman pasukan lebih banyak ke wilayah tersebut.

Setelah secara resmi menyatakan bahwa GAM adalah “gerakan separatis”, pada bulan Maret rapat kabinet di Jakarta mengumumkan “operasi militer terbatas” di Aceh. Langkah tersebut, yang dipandang sebagai kenaikan pihak militer dan langkah mundur bagi Presiden Wahid, bertentangan dengan kemajuan negosiasi antara Indonesia dan GAM yang diantari oleh Henri Dunant Centre di Swiss. Dalam kesepakatan akhir yang dicapai pada pertengahan Februari, kedua pihak sepakat untuk menggantikan apa yang disebut sebagai Jeda Kemanusiaan (yang disepakati pada bulan Mei tahun lalu) dengan kesepakatan-kesepakaan keamanan secara lokal antara para komandan di lapangan.

Tak ada hasil kongkrit dari Jeda Kemanusiaan atau dari kesepakatan terakhir tentang kekerasan yang disetujui pada pertengahan bulan Januari tahun ini – yang mana sudah barang tentu tingkat kekerasan terus meningkat. Kekhawatiran bahwa para pembela HAM akan menjadi target pasukan keamanan ditegaskan ketika tiga orang pekerja sukarelawan yang bekerja untuk LSM yang membantu korban penyiksaan (RATA) disiksa dan dibunuh pada bulan Desember tahun lalu. Tiga bulan kemudian, pada tanggal 29 Maret, dua pekerja HAM dan supir mereka dibunuh ditempat setelah meninggalkan markas politik di Aceh Selatan. Meskipun demikian, keputusan terakhir Jakarta hanya membuat kesempatan untuk negosiasi damai semakin jauh dari harapan. Laporang-laporan terakhir menyatakan bahwa 6000 pasukan segera disiapkan untuk bergabung dengan kurang lebih 30.000 pasukan militer yang sudah berada di wilayah tersebut. Kelompok-kelompok HAM sangat memprihatinkan hal tersebut, di mana peningkatan jumlah pasukan akan menyebabkan konflik bersenjata dengan GAM akan semakin tinggi dan menimbulkan penderitaan dengan penduduk sipil.

(Sumber: Reuters 30/Maret/01; Jakarta Post 12/Maret/01; Tapol Bulletin 161, Maret/April/01; New York Times 24/Maret/01;)

 

Tekanan ekonomi

Dalam krisis ekonomi yang terus berlanjut, pemerintah Indonesia dengan jelas berada dalam tekanan ekonomi yang besar untuk membujuk Exxon Mobil bahwa mereka aman untuk melanjutkan operasi mereka. Export gas alam cair (LNG) dari Arun memberikan lebih dari US$ 1.8 Milyar setiap tahun dari produksi 11juta ton setiap tahunnya. Setiap tahunnya 225 pengapalan dilakukan, sebagian besar ke Jepang dan Korea. Kompleks pengolahan gas alam cair (LNG) di Bontang, Kalimantan Timur, yang menghasilkan produk dua kali lipat dari Arun, telah dirancang untuk mengambil alih pasokan yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen kepada pihak konsumen. Tetapi mereka hanya sanggup melakukan hal ini sampai akhir bulan Mei. Inilah yang menjadi penyebab bagi pemerintahan Jakarta untuk menekan Exxon untuk memulai kembali operasi mereka.

Situasi ini telah menciptakan friksi antara Exxon Mobil dan pemerintah, di mana Presiden Wahid menuduh secara terbuka bahwa perusahaan tersebut telah memanfaatkan situasi keamanan untuk menambah tekanan kepada Jakarta untuk menegosiasikan kembali kontrak mereka. Di bawah kontrak pembagian produksi tersebut, Exxon mendapatkan 30% pendapatan dari penjualan gas sementara perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina, mendapatkan 70%. Pertamina mengatakan bahwa mereka akan mengalami kerugian sebesar $100 juta setiap bulan jika penundaan operasi terus berlanjut.

Pada bulan April, Pertamina dilaporkan mengatakan bahwa mereka akan mengambil alih operasi di Aceh jika Exxon tidak memulai operasi mereka pada bulan Juni. Laporan ini kemudian disanggah.

Untuk meyakinkan pihak Exxon Mobil bahwa mereka tetap aman untuk memulai operasi-operasi mereka, pemerintah telah mengirim lebih dari 2.000 pasukan tambahan untuk menjaga fasilitas-fasilitas perusahaan. Meskipun demikian, Exxon tetap merasa skeptis dan telah menolak untuk menyebutkan tanggal untuk membuka kembali pabrik mereka. Pada bulan Maret, New York Times melaporkan bahwa Menteri Sumber Daya Energi dan Pertambangan, Purnomo Yusgiantoro, dipaksa untuk membatalkan upayanya untuk mengunjungi tempat tersebut ketika pesawatnya ditembak dan mencegahnyanya untuk mendarat. Presiden Wahid juga telah menunda perjalanannya ke wilayah tersebut pada bulan yang sama.

Sementara itu, GAM menolak telah menjadikan perusahaan itu sebagai target operasi mereka. Tetapi mereka tetap memandang bahwa pasukan militer yang menjaga fasilitas perusahaan sebagai target yang sah.

(WSJ.COM News Roundup 24/Mar/01; Jakarta Post 18/Apr/01, 13/Mar/01)